Jumat, 20 Januari 2012

Kasih Sayang Ayah Tak Kelihatan

Ayah mengutamakan pria meremehkan wanita, kesan ini sudah berurat akar dalam sanubariku sejak masa kanak-kanak.

Sejak kecil hingga dewasa, aku selalu mendapat pakaian bekas abangku.
Bagaimanapun seorang gadis yang mengenakan pakaian abang yang longgar dan usang, rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu
berlengah-lengah jalan di belakang, takut kepergok teman-temanku, yang
akan mengejek dan mentertawakan sebagai bocah gadungan.

Abangku seorang laki-laki cacad, lebih tua 5 tahun dariku. Meski aku
anak perempuan, tapi aku sangat tekun belajar, setiap ujian aku selalu
dapat ranking pertama.

Seharusnya akulah yang paling pantas di sayang ayah. Karena hal ini,
aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku, aku menganggap
ayah pilih kasih. Suatu hari saat tahun baru, ayah lagi-lagi
membelikan pakaian baru untuk abang, sedangkan aku tidak satu pun.
Akhirnya aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil berteriak : “Kau
pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti, ia hanya seorang
laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus
sekalipun!”mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan menamparku. Aku
tidak menyerah dan mengangkat kepalaku, bak seekor singa yang lapar
aku meraung sambil menatap ayah ”Aku tahu kau memandang rendah
padaku, ayo pukul lagi! Kalau perlu bunuh saja sekalian!”muka ayah
merah padam saking marahnya, kemudian hendak menampar lagi, tapi
dicegah oleh ibu.

Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini, aku belajar dengan
tekun, dan berencana hendak meninggalkan keluarga ini setelah lulus ke
perguruan tinggi Abangku hanya sekolah beberapa tahun, setelah itu
berhenti dan tinggal di rumah, prestasi belajarnya selama ini sangat
memuaskan. Tapi tidak merasa menyesal untuknya, malah aku merasa
nyaman “Siapa suruh kau cacat ?”

Setelah lulus SMU aku berhasil diterima di sebuah lembaga ilmu
kedokteran. 2 tahun kemudian, aku menjalin asmara dengan seorang pria,
kami berunding untuk membeli rumah di daerah kota. Keluarga laki-laki
tinggal di desa, keadaan ekonomi juga biasa-biasa saja, kami telah
menyimpan sebagian tabungan, tapi untuk kredit rumah masih kurang. Aku
harap keluarga bisa memberi sebagian tambahan, dan ketika aku
menceritakan hal ini sama ayah, tak disangka ia langsung menolaknya
“Uang tabungan keluarag dibutuhkan untuk biaya abangmu memperistri
nanti! Masalah pembelian rumah, kau pikirkanlah sendiri! Kalau uangmu
tidak cukup, tidak perlu beli yang terlalu besar!”ayah yang tidak
mengerti perasaan membuat aku sungguh sangat kecewa.

Belakangan akhirnya pernikahan abang telah dibicarakan dan disetujui,
yaitu seorang gadis desa tetangga yang polos. Ayah mengeluarkan
puluhan ribu yuan dan dengan cukup meriah menyelenggarakan pernikahan
mereka.

Setelah menikah, aku juga sudah jarang pulang ke rumah. Beberapa hari
yang lalu ayah ulang tahun yang ke-60 tahun, ibu meneleponku, tapi aku
menolak dengan alasan lagi sibuk dan mungkin tidak bisa pulang. Dengan
kecewa ibu menutup telepon. Suamiku mengatakan, tidak baik kalau ulang
tahun ayah sampai tidak menyempatkan diri untuk pulang. Suamiku
memberi berbagai nasihat, dan akhirya aku pulang juga. Ayah tampak
sangat gembira, sibuk kesana kemari sambil bersenandung. Aku merogoh
200 yuan untuk ayah. Tapi Ayah menolaknya dengan alasan “Kalian juga
bukan keluarga berada, simpanlah untuk kebutuhan sendiri nanti!”dengan
nada datar aku berkata ”Benar!Saat aku menikah juga tidak ada
apa-apa, kami membeli sedikit demi sedikit, dan sudah hampir lengkap
seperti yang dimiliki abang. “Ayah tahu ada makna lain dalam ucapanku,
setelah itu tidak bicara lagi, dan sepanjang hari tidak terdengar lagi
nyanyian falls-nya itu.

Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu mengatakan ”Dara
manis, lain kali tidak boleh berkata begitu sama ayah, karena marah
ayahmu hari ini menyeka air matanya!”aku berbisik pelan ”Siapa suruh
dia pilih kasih!” ibu menarik napas panjang lalu berkata ”Sayang,
tahukah kau kenapa kaki abangmu cacat ?”aku menggelengkan kepala.
“Saat kau masih anak-anak, suatu ketika ayah membawamu dan abang
menumpangi traktor pergi ke pekan raya, tapi traktor itu terbalik di
tengah jalan, dengan instingnya ayah memelukmu dan meloncat keluar.
Namun, ketika ayah kembali lagi mencari abangmu, kaki abangmu telah
tertindih di bawah roda. Abangmu kemudian di bawah ke rumah sakit, dan
meski nyawanya selamat, tapi meninggalkan cacat seumur hidup. Dan
sampai sekarang Ayahmu masih merasa sangat bersalah, Ia tidak
melindungi kalian dengan baik sekaligus. Tapi Ayah juga tidak mau aku
menceritakan hal yang sebenarnya padamu, ayah takut kau akan memikul
beban jiwa yang berat……”
Aku termangu, dan air mata berlinang membasahi wajahku.

0 komentar:

Posting Komentar