Selasa, 17 Januari 2012

KU TAMBATKAN HATI DI INDONESIA


kick andyMereka dikarunia warna kulit dan mata yang berbeda dengan yang dimiliki warga negara Indonesia umumnya, tetapi mereka memiliki cinta dan kepedulian pada masalah-masalah yang terjadi di negeri ini. Mereka adalah 'bule-bule', tetapi memilih menambatkan hati mereka untuk negeri yang bukan miliknya.
Aurélien Brulé adalah nama aslinya warga Perancis ini, tetapi ia selalu dipanggil Chanee (baca : tsani). Tugasnya penuh resiko, tapi ia menjalankan pekerjaannya tersebut karena kecintaanya dan obsesinya yang luar bisa pada hewan primata langka asal Kalimantan, Owa. Chanee adalah seorang penyelamat satwa liar di Palangkaraya, Kalimantan. Ia juga mendirikan Yayasan Kalaweit Gibbon dan Program Konservasi Siamang sebagai primata langka, dan juga mendirikan Radio Kalaweit pada tahun 2003 di Palangkaraya dengan jumlah pendengar sebesar 1500 pendengar (radio terbesar kedua di Palangkaraya). Di usia muda, saat Chanee berusia 19 tahun ia telah melakukan observasi selama lima tahun terhadap primata yang ada di kebun binantang di Perancis, kemudian menuliskannya menjadi sebuah buku. Hal ini menarik perhatian publik di Perancis, hingga seorang artis komedian Perancis, Muriel Robbin, bersedia mendanainya untuk membuat sebuah program konservasi pada hewan primata ini. Tahun 1998, Chanee menuju Pulau Kalimantan yang dianggap sebagai habitat asli Owa, meski tanpa bekal pengetahuan budaya dan bahasa. Setahun kemudian, pada tahun 1999 Chanee mendirikan Kalaweit Gibbon Project dan Program Konservasi Siamang. Akhirnya pada 2004, program yang ia jalankan menerima pengakuan dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Karin Franken - wanita asal Belanda yang kini sudah berpaspor hijau ini adalah satu dari sedikit orang yang peduli akan kesejahteraan binatang, terutama yang terlantar. Melalui tangannya, ratusan anjing dan kucing liar kini memiliki rumah. Dia juga memprakarsai lahirnya Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Karin Franken sudah tinggal di Indonesia selama lebih dari 20 tahun. Ia merasa menemukan passion di Indonesia, dengan bekerja di bidang kesejahteraan hewan. Ia lantas mendirikan klinik khusus binatang yang sifatnya komersial. Sebelumnya binatang yang sakit harus dibawa ke rumah sakit, dan tentu saja biayanya mahal, tapi dengan adanya klinik ini, program mereka menjadi terbantu. Program JAAN ini menyelamatkan hewan atau binatang yang terlantar dan memiliki kasus tertentu. Setelah mereka menyelamatkan, mereka kemudian mencarikan keluarga asuh. Rata-rata perbulan ada 20-30 anjing yang mereka carikan rumah. Program ketiga, adalah program sterilisasi. Mereka mensterilkan anjing atau kucing liar tersebut agar mereka tidak beranak terus. Berikutnya adalah program edukasi untuk mendidik para pemilik binatang agar bertanggung jawab atas binatang piaraannya. Sebab masih banyak orang yang memperlakukan hewan piaraannya secara tidak layak, juga memperlakukan hewan piaraan mereka seperti furniture yang bisa diganti semauanya. Padahal hewan adalah mahluk hidup. Mereka punya keinginan, punya kebutuhan, seharusnya hewan piaraan diperlakukan tak ubahnya seperti anggota keluarga.

Annette Horschmann, telah melanglang buana ke beberapa negara sejak ia lulus kuliah di tahun 1984. Di Thailand tahun 1993 ia mendengar cerita tentang Danau Toba dari turis-turis lainnya. Sejak saat itu rasa penasarannya terhadap Danau Toba mulai muncul. Puncaknya saat ia di New Zeland. Hanya beberapa hari di New Zeeland ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan langsung ke Danau Toba. Sesampainya ia di Danau Toba ia tertegun melihat keindahan Danau Toba. Namun rasa takjubnya terganggu oleh banyaknya sampah yang berserakan di danau toba, sebagai orang Jerman yang sangat sadar lingkungan ia kemudian memutuskan untuk melakukan aksi bersih Danau Toba. Ia mengajak tetangganya yang turis Belanda untuk bekerja sama membersihkan danau Toba dari sampah dan enceng gondok. Mereka kemudian mengajak pemuda-pemuda lokal untuk membantu mereka. Annette belajar bahasa Batak tujuannya selain untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat lokal juga untuk melancarkan misi pembersihan tersebut.  Menurutnya, jika menggunakan bahasa daerah maka orang yang ditegur akan cepat mengerti dan itu lebih sopan. Karena kecintaannya terhadap Danau Toba ia pun bertemu dengan jodohnya yang merupakan orang asli Toba, Anthony Silalahi.

Andre Graff, mantan pilot balon gas udara ini adalah seorang warga Negara Perancis yang datang ke Indonesia untuk membuat sumur di desa Wora-Woru, Waikabubak, Nusa Tenggara Timur. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pilot, guru dan perusahaan pesawat balon gasnya yang notabene menghasilkan 50 juta IDR/bulan, tetapi kemudian ke Sumba untuk membuat sumur bagi warga di desa terpencil di Indonesia. Pada awalnya Andre hanya sebagai turis biasa yang melakukan perjalanan di wilayah Sumba. Tetapi selalu ada keinginan untuk kembali ke Nusa Tenggara Timur, apalagi setelah bertemu dengan para ibu yang masih dengan kebiasaannya mengambil air dari sumber mata air yang jauh dari tempat tinggalnya. Singkat kisah, Andre kembali dan membatu para warga membuatkan sumur dengan biaya yang ia keluarkan secara pribadi. Setelah hampir sebulan menggali tanah berbatu, mereka berhasil mendapatkan air pada kedalaman 11 meter. Namun ternyata air yang keluar sangat sedikit dan keruh, jadi belum bisa untuk digunakan. Akhirnya mereka mendapatkan hasil air yang bagus di kedalaman 17 meter , setelah seorang dukun local mengarahlkan pekerjaan mereka. Sumur pertama yang berhasil ia gali telah dimanfaatkan oleh 180 Kepala Keluarga di desa Waru Wora. Dari projek pertamanya tersebut ia kemudian mempunyai kelompok penggali sumur yang diberi nama “GGWW (Gorong-Gorong Waru Wora )” kelompok ini terdiri dari kelompok laki-laki penggali sumur binaannya yang berasal dari desa Waru Wora. Tahun 2006, Andre Graf mendirikan lembaga PPWW (Pilot Project Waru Wora) yang mendapat dana dari turis-turis yang datang ke NTT ataupun dari teman-teman Andre di Perancis.

0 komentar:

Posting Komentar